Ibarat pohon tak
berbuah, Tak ada yang bisa dibanggakan selama menyandang status sebagai
mahasiswa. Agent of Change tak berarti sama sekali jika tak bisa
menjadi pelopor, inisiator untuk mengubah hal-hal paling sederhana di dalam dan
di luar diri. Menyandang status mahasiswa bukanlah perkara mudah. Paradigma masyarakat
yang beranggapan bahwa Mahasiswa mampu melakukan apasaja (mempunyai pengetahuan
yang luas serta cakap untuk melakukan transformasi soasial) serta Mahasiswa
berperan sebagai penyambung lidah antar masyarakat dan pemerintah. Ditambah lagi
beban sejarah (peran mahasiswa tentang pergerakan bangsa Indonesiayang) menjadi
momok yang cukup serius yang berada di punggung orang yang melanjutkan studinya
di perguruan tinggi. Ironisnya, mahasiswa ‘kekinian’ mengalami pergeseran nilai, ditambah lagi degradasi
moral yang mengidap dalam pikiran mahasiswa, bahkan ada juga mereka sudah
tak lagi mengetahui fungsi utamanya. Jika Kita flashback pada peritiwa sumpah
pemuda, peristiwa 10 november, peristiwa bandung lautan api, peristiwa aksi
Mahasiswa dengan Statemen TRITURA (tiga tuntutan rakyat), peristiwa 1998, dll. Semua
peristiwa tersebut tidak lepas dari peran fungsi dan tanggung jawab Mahasiswa
namun seat ini peran mahasiswa tersebut mulai berubah Sejak berkuliah, mereka
sudah pragmatis. Ketika mereka ditanya “Apa tujuan kuliah?” mereka menjawab “Untuk
bekerja”. kemudian ditanya lagi “bagaimana cara menjalankannya?” “Ya belajar. Manut
sama dosen,
mendapatkan IPK tinggi dan lulus”.
Paradigma yang seperti
ini sudah mulai menjamur di perguruan tinggi swasta dan Negri. Kondisi yang
demikian bisa mengancam peradaban bangsa Indonesia kedepan, karena mahasiswa
adalah kader penerus bangsa. Mereka adalah harapan bumi pertiwi untuk bisa
mengawal serta melakukan tronsformasi social yang lebih baik. Maka perlu adanya
trobosan-trobosan untuk melakukan menggiring mainset mahasiswa supaya sadar
akan tugas mereka sebagai agent og change.
Sebuah perubahan tentu
tak bisa diwujudkan bila tak dimulai dari diri sendiri. Dalam ilmu sosial,
selain diri sendiri, lingkungan menjadi faktor utama dalam membentuk
kepribadian. Tak perlu lebaymereduksi teori
Peter L. Berger, sejatinya—sebagai manusia—semua orang tak bisa memungkiri itu.
Terkecuali ia yang tak peka–dan itu amat jarang ditemui. Lingkungan berpengaruh
besar terhadap perilaku, selera, bahkan pengambilan keputusan para mahasiswa.
Minimnya minat membaca
dikalangan mahasiswa menjadi proplem yang cukup serius, mahasiswa sekarang
lebih asyik mengunjungi bioskop, tempat hiburan-hiburan dari pada berkunjung ke
toko buku atau memenghabiskan waktunya di perpustakaan. Selain toko buku dan
perpustakaan yang berada di ujung maut adalah forum diskusi, kajian-kajian
keilmuanpun kini kering kerontang. Tapi cobalah kunjungi event-event seperti Fashion
Show dan konser
musik, selalu padat peserta dan penonton. Kedua kubu ini seolah bertolak
belakang. Hiburan memang perlu, tetapi belakangan hiburan malah menjadi gaya
hidup. Kegiatan yang menutrisi otak malah dibilang kuno.
Banyak yang
berkoar-koar, zaman telah berubah. Untuk apa buku jika sudah ada internet?
Sekali klik langsung tersedia. Buku malah lebih mempersulit dengan harus
membaca dan paham, bukan cuma ngerti. Begitulah, tak
ada kesadaran sama sekali bahwa dari tradisi baca-tulis lah peradaban dunia
terbentuk. Sekarang semua mesti serba instan. Bahkan sekadar untuk mencari
makan, sekali klik delivery makanan segera datang. Tak heran jika
sekarang manusia tak lagi mampu menjaga sisi kemanusiaannya. Mereka malah
senang menjadi mesin, menjadi robot yang dibayar. Menjadi mahasiwa yang tak
menjalankan perannya sebagai mahasiswa.
Kesemua penelusuran di
awal akhirnya berdampak pada kegiatan-kegiatan yang dijalani mahasiswa. Selain
kegiatan berhedon ria, politik
kampus pun kini lebih menggiurkan ketimbang kegiatan mencipta. Dan apa yang
dialami Unit Kegiatan Mahasiswa kini juga cukup riskan. Sepuluh tahun terakhir,
kaderisasi mulai menurun. Kegiatan mencipta seolah berat–tidak instan. Berjuang
menuruti passion dalam diri dianggap terlalu
beresiko. Yang dipilih akhirnya sesuatu yang praktis dan instan. Yang tak perlu
dipusingkan.
Jika menjadi guru, Pegawai
Negri Sipil (PNS), pejabat Negara lebih direstui keluarga dan aman untuk masa
depan, daripada menuruti passion menjadi aktivis,
seniman, penulis, jurnalis dll. aktivitas Karaoke dan menonton film jauh lebih
menyenangkan daripada menciptakan budaya diskusi, maka berbondong-bondong lah
para mahasiswa ke mall, berburu hal yang
bahkan tak berasal dari kebutuhan mendasar diri mereka sendiri. Lebih senang
pasar yang modern.
Lantas bagaimana
menjadi mahasiswa seutuhnya? Jawabannya ada dalam hati masing-masing. Mari
koreksi lagi diri sendiri, lalu di lingkungan sekitar. Kemudian, cermati apa
yang terjadi sepanjang menjadi mahasiswa. Sudahkah dari hati menjalaninya?
Atau, jangan-jangan, kampus ini justru semakin bobrok lantaran mahasiwa
tidak bisa melawan musuh utamanya. Siapa
musuh utama mahasiswa?
Diri sendiri.


1 Komentar
siiip!
BalasHapus